Wednesday, March 13, 2024

Ramadhan Mubarak! Saatnya mengeluarkan jurus Menu Andalan untuk Sahur

Alhamdulillah. Tahun ini dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan. Ini adalah Ramadhan ke-8 saya tinggal di rumah orang tua. Setiap tahun, tantangan Ramadhan yang saya hadapi berbeda. Satu yang masih sama, menu sahur. 


Waktu masih merantau dan tinggal sendiri di Bandung, saya tidak terlalu pilih-pilih dengan menu sahur. Asal cukup nasi, sayur, dan lauk, sudah. Kadang-kadang hanya makan kurma, susu, dan sereal. Pernah juga hanya minum air putih.


Berbeda kalau bersama orang tua yang sudah lansia. Banyak pertimbangan memilih menu: kondisi kesehatan saat itu, menu yang disukai, dan menu yang diinginkan atau diidamkannya. Sejak 4 atau 5 tahun lalu, Bapak sudah mencoret ikan dari daftar menu sahur. Amis dan bikin mual katanya. Mamak pun sama. Saya juga selalu bertanya setelah makan malam berbuka: "besok mau sahur apa Mak? Pak?". Pernah suatu kali Saya lupa bertanya dan masak menu sesuai selera pribadi, ujung-ujungnya tidak mau dimakan. Saya pun akhirnya harus memasak telur dadar sebagai menu gantinya.  


Kalau ditanya apa menu andalan di rumah saat sahur? jawabnya adalah sapi dan mentimun. Setiap awal bulan Ramadhan sudah menjadi kebiasaan Bapak ingin menunya kaki sapi atau tulang rusuk. Biasanya hanya saya buat sop dengan rempah dan seledri saja. Mentimunnya dibuat pecel, jadi diiiris tipis dan disirami saus kacang. 


Hari lainnya saya akan masak daging semur dengan lalap timun. Kombinasi menu paling sering adalah daging rebus cabe hijau dan timun saus kacang. Untuk memberi jeda supaya tidak makan daging setiap hari, biasanya saya bikin ayam semur, udang goreng, atau sambal goreng udang. Kadang-kadang kalau sudah mentok, bikin telur dadar. Sayurannya, kalau tidak bening gambas, ya mentimun saus kacang. 



Karena menunya berulang, saya selalu siap sedia bumbu praktis di awal Ramadhan. Biasanya ada 4 (empat) macam yang saya siapkan: bumbu semur, bumbu dasar putih, cabe giling, dan kacang tanah sangrai yang sudah diblender kasar. Rempah bumbu semur ala saya: bawang merah, bawang putih, kapulaga, pala, bunga lawang, cengkeh, lada hitam, ketumbar, serai, lengkuas, dan kemiri. Untuk bumbu dasar putih selain bawang merah dan bawang putih, saya mencampur kemiri dan serai juga.

Bumbu dasar putih dan bumbu semur

Selain mempersiapkan bumbu, saya juga mempersiapkan tulang sapi, daging sapi, ayam, dan udang. Daging pun biasanya sebagian sudah saya rebus, sebagian lagi dipotong dan dimasukkan ke dalam kontainer sesuai porsi yang akan dimasak. Sedikit repot di awal tapi sangat membantu masak cepat di kala sahur. 


Kalau saya sudah bosan masak daging dengan berbagai varian cara masak, saya keluarkan jurus pamungkas menu: Bubur Paddas. Ini adalah makanan khas suku Melayu Sambas, Kalimantan Barat. Isinya campuran sayuran hutan ditambah dengan bumbu kering (campuran beras, kelapa parut, lada hitam yang disangrai dan diblender) dan bumbu basah (tumis daun kunyit dan daun kesum yang sudah diiris tipis dan ditumbuk). Bubur Paddas ini adalah menu favorit orang tua saya. Pasti terkembang senyum keduanya kalau ada menu ini. Hanya saja untuk membuatnya cukup memakan banyak waktu dan saya biasanya sangat malas :p (hehehe). 

  



Baca selengkapnya

Wednesday, February 28, 2024

Berkebun, sepertinya Seru!

Berkebun, sepertinya Seru!

Sebenarnya setiap ditanya hobi, saya bingung menjawabnya. Waktu masih sekolah dulu, sukanya menyanyi. Pernah juga merasa hobi menulis. Semakin bertambah usia, saya tidak lagi menikmati bernyanyi sebagai hobi. Kalau menulis, masih, tapi tidak setekun dulu. Makanya ikut tantangan menulis MaGaTa ini, hehe. 

Gara-gara tema menulis pekan ini adalah hobi, saya berpikir lagi tentang hobi. Sebenarnya ada satu kebiasaan yang ingin saya jadikan hobi. Saya ingin berkebun. Rumah orang tua saya memiliki pekarangan yang luas. 

Waktu saya kecil kedua orang tua saya dan nenek selalu rajin merawat pekarangan rumah kami. Mamak bahkan pernah mendapat juara harapan tingkat kabupaten sebagai pekarangan rumah yang asri, nyaman, dan lengkap. Saya ingat sekali setiap sore Mamak dan Bapak ada di halaman depan, belakang, dan samping rumah. Banyak jenis tanaman yang keduanya tanam, mulai dari sayuran, aneka rimpang, toga, tanaman hias, dan beraneka pohon seperti nangka, kelapa, pisang, jambu air, jambu biji, durian, belimbing, ceremai, pohon kenanga, petai cina, sereh, sirih, jeruk nipis, jeruk sambal, bahkan buah-buahan lokal yang kini sudah sulit ditemukan.  Sejak keduanya sakit dan sulit berjalan, hampir semua tanaman mati tidak terawat. Halaman belakang rumah yang sangat luas kini hanya ditumbuhi pohon kelapa, pisang, pinang, dan beberapa batang jambu. 

Saya sering lihat di Pinterest kebun orang yang rapi, indah, dan pekarangannya menghasilkan pangan yang cukup buat keluarga. Kalau nanti mulai berkebun, saya ingin mengatur lagi tanaman-tanaman di halaman belakang. Selain menanam sayuran, saya ingin menanam jeruk nipis, lemon, belimbing, petai, rambutan, bahkan saya terfikir ingin menanam padi. Hanya dengan membayangkannya saja, rasanya sudah senang sekali. 

Kesibukan sehari-hari, rutinitas, dan tekanan pekerjaan membuat saya merasa membutuhkan coping mechanism yang sehat, kalau bisa menjauhi layar. Menurut Alodokter, selain mengusir rasa jenuh, berkebun baik bagi kesehatan fisik dan mental. Selain itu, karena berkebun kita jadi menanam makanan kita sendiri yang jelas lebih sehat dan ramah lingkungan, eh, lebih hemat juga sih. Apalagi saya sangat suka sayuran. Sayuran di Kalimantan sini, mahal sekali dibandingkan dengan waktu saya di Bandung. 

Lantas apa yang menghalangi saya? Rasa takut. Tidak terbilang seringnya saya bertemu ular di sekitar rumah, ular hijau, merah, hitam, abu. Saya juga sangat geli dengan ulat bulu. Dulu saya pernah takut  cacing, tapi sekarang saya sudah bisa mengatasi rasa takut itu. Semoga saya lekas mengatasi rasa takut pada ular juga, supaya saya bisa memulai hobi berkebun. 

Baca selengkapnya

Wednesday, February 21, 2024

Aku ingin jadi Profesor!

Aku ingin jadi Profesor!

"Aku ingin jadi Profesor!" ucapku dulu saat menuliskan target hidup jangka panjang. Tanpa memikirkan pantas atau tidaknya, aku membayangkan bahwa karir tertinggi yang ingin kucapai adalah menjadi profesor. Keinginan itu juga yang menjadi salah satu alasanku melanjutkan S2 di program studi yang sama dan kampus yang sama pula. Aku dengar untuk menjadi profesor, pendidikannya perlu linier dari S1 hingga S3. 

Sejujurnya aku pun tidak mengingat alasanku ingin menjadi profesor. Awalnya, aku membayangkan profesor adalah seseorang dengan kepala sedikit botak atau rambut yang hampir semuanya memutih. Bahkan saat masih menjadi mahasiswa baru aku pernah bertemu dengan profesor dari program studi lain di kampusku dengan penampilan seperti itu. Auranya benar-benar memancarkan kecerdasan dan terlihat  keren sekali. Namun sepertinya inspirasi untuk menjadi profesor muncul setelah aku bertemu dan berinteraksi dengan profesor yang ada di program studiku sendiri. Pada saat itu rata-rata profesor di prodiku berusia lebih dari 60 tahun. Kesan yang aku ingat dari mereka adalah pemikiran yang luar biasa, cerdas, bijak, dan berwibawa. Pemikiran-pemikirannya segar, membuka wawasan, dan inspiratif.  Aku jadi senang mendengar kuliah, seminar, atau sekedar menjadi asisten mereka. Kekagumanku pada sosok profesor semakin bertambah ketika salah satu seniorku berhasil menjadi profesor termuda (kala itu) di program studi kami. 

Setelah memutuskan menjadi dosen pun aku masih menempatkan cita-cita sebagai profesor sebagai karir tertinggi yang ingin aku raih. Aku tidak pernah menargetkan harus menjadi profesor pada usia tertentu. Karena menurutku, untuk menjadi profesor yang cerdas dan bijak butuh waktu. Aku yakin aku akan meraihnya pada saat yang tepat, dengan  pace yang aku sukai pula, bukan menjadi ambisi utama. 

Setalah menjadi dosen, sejujurnya aku tidak terlalu memikirkan cita-citaku untuk menjadi profesor. Kegiatan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat disertai dengan kewajiban administrasi yang tiada habisnya sudah cukup menyita perhatianku. Jangankan menjadi profesor, urusan jabatan dosen sebagai Asisten Ahli saja sudah 4 tahun tidak kuurus. Padahal itu adalah jenjang karir pertama sebagai dosen.  

Aku memang cukup lengah dengan urusan karir dan kenaikan jabatan sebagai dosen PNS. Hingga suatu kali, aku bertemu dengan beberapa profesor yang tergabung dalam forum guru besar politeknik se-Indonesia. Semangat dan pemikiran mereka saja membuatku sangat kagum dengan mereka. Aku yakin tugas dan tanggung jawab mereka sebagai guru besar sangat banyak, namun mereka tampak bersemangat dan produktif menghasilkan karya-karya ilmiah dan terapan yang bermanfaat bagi masyarakat. 

Aku semakin terpesona dengan para profesor ini ketika aku berkenalan dengan salah satu guru besar dari Politeknik Negeri Lampung, Prof. Fitri. Beliau adalah profesor perempuan pertama di politeknik tersebut dan baru dikukuhkan sebagai guru besar sekitar bulan Oktober 2023. Setelah mengikuti sebuah workshop di Jakarta, aku sempat berdiskusi sebentar dengan beliau. Diskusi ini berlanjut hingga keesokan harinya saat aku mendapati beliau menginap di hotel yang sama denganku. Topik diskusi kami sangat beragam mulai dari riset, kolaborasi, bahkan bercerita tentang menjadi caregiver bagi orang tua lansia. Pertama kalinya aku berdiskusi dengan profesor senyaman dan seterbuka itu. Banyak pembelajaran dan insight akademis maupun personal yang aku dapat dari beliau. 

Pertemuan dengan profesor ini membuat saya lagi-lagi berseru pada diri sendiri: "Aku ingin jadi Profesor!". Saya ingin menjadi seperti Prof. Fitri yang humble, bijak, dan menyenangkan." Aku ceritakan kepada temanku betapa aku terinspirasi ingin menjadi profesor, tapi jangankan jadi profesor, mengurus asisten ahli saja malas. Begitu mendengar kalimatku, setengah berteriak ia berkata kepadaku, "Eonni! You have to. You are professor material! Kamu harus jadi profesor, Eonnie! Kenapa kamu berpikir tidak bisa? Aku akan sangat marah kalau kamu tidak". Aku terkejut sekaligus terkikik geli melihat reaksinya. 

Ya, aku akan jadi profesor! Saatnya aku bergerak kembali pada jalan menuju cita-cita lamaku, menjadi pendidik yang terus belajar dan bertumbuh memberikan manfaat bagi orang banyak. Semoga aku teguh dalam perjalanan ini. Semangat! 

#tantanganMaGaTa
Baca selengkapnya

Wednesday, February 14, 2024

Caregiver dan Dosen, Dua Peranku di Masa Kini

Caregiver dan Dosen, Dua Peranku di Masa Kini

 “It is the ultimate luxury to combine passion and contribution. It’s also a very clear path to happiness.” – Sheryl Sanberg


Kutipan ini menjadi salah satu penyemangat dan penguat saya saat merasa kewalahan menghadapi banyak hal dalam hidup. Setelah merantau belasan tahun di Bandung, 7 tahun lalu saya menguatkan keputusan untuk kembali ke kampung halaman. Alasannya sederhana, mengabdi kepada kedua orang tua yang kondisi  kesehatannya semakin memburuk dan membutuhkan perhatian khusus. Begitu saya kembali, saya menjadi caregiver kedua orang tua sekaligus menjadi dosen PNS di Politeknik Negeri Sambas.


Tahun ini adalah tahun ke-8 saya merawat kedua orang tua saya. Pekerjaan berbayar surga, namun ‘terpeleset’ sedikit bisa membawa ke neraka. Awalnya saya yakin bisa menjalankan tugas birrul walidain ini dengan baik, namun dalam perjalanannya, Masya Allah sungguh banyak tantangannya. Semakin lanjut usia Mamak dan Bapak saya, semakin berbeda keduanya secara fisik maupun mental. Bahkan kini, kadang saya merasa siang menjadi malam, malam menjadi siang. Mamak tidak nyenyak tidur di malam hari, jadi saya kerap terjaga hingga pukul 01.00 dini hari, lalu terbangun lagi pukul 03.00. Kadang membantunya ke kamar mandi, menggaruk badannya, menyiapkan makannya, atau memijat punggungnya kalau tiba-tiba beliau merasa sesak.  Sejujurnya ini tidak mudah. Setiap pagi saya memikirkan menu, mempertimbangkan kesukaan Mamak, kondisi perut dan kesehatannya di hari itu, juga mempertimbangkan kesukaan Bapak. Semakin lansia, selain perut yang sensitif, keduanya juga jadi picky eater, seleranya pun berbeda. Kadang saya merasa seperti sedang mengurus new-born. Ada kalanya saya lelah sekali atau dalam kondisi sakit namun tetap harus 'sehat' karena tidak ada yang bisa membantu sayaHanya ada saya, Mamak, dan Bapak di rumah ini. Kalau sudah begitu, biasanya saat menyuapi makan, memijat, atau melakukan apa pun untuk Mamak, saya melakukannya sambil menangis


Biasanya orang memuji saya ketika melihat saya mengurus kedua orang tua. Sebenarnya, saya malu dipuji dan dianggap anak berbakti, padahal masih banyak kurangnya diri kala mengurus keduanya. Doakan saja saya, diberikan kesabaran, dimudahkan semua urusan. Saya masih belajar mengatur peran, di rumah dan di kampus. Saya sedang berusaha mengatur emosi, supaya emosi di tempat kerja tidak terbawa ke rumah dan berakhiran saya membentak kedua orang tua.


Sungguh menjadi dosen dan caregiver di saat yang sama sempat membuat saya mengalami gejala depresi tiga tahun silam. Saya hanya membayangkan mengajar seperti dosen saya dulu saat S1, namun ternyata tuntutan pendidikan tinggi vokasi sungguh berbeda dari universitas ataupun institut. Banyak hal yang harus saya pelajari, banyak pula tuntutan administrasi, belum lagi karakter mahasiswa yang sangat menantang untuk dihadapi. Kadang-kadang, saya tidak sengaja menyerap energi negatif mahasiswa dan membawanya hingga ke rumah. Pernah juga kewajiban saya sebagai dosen bertabrakan dengan tanggung jawab saya sebagai caregiver. Dulu, pernah dua hari sebelum presentasi laporan aktualisasi dalam latsar CPNS, Mamak dirawat. Saya bilang ke Mamak, “Sembuh ya, Mak. Tiha belum menyelesaikan laporan untuk latsar. Mamak ingin anak Mamak jadi PNS kan?”. Sehari sebelum pengumpulan laporan, saya lembur di kantor sampai tengah malam. Ternyata di rumah, lisan Mamak tak henti berdoa untuk saya. Bahkan ketika saya tiba di rumah dan sudah berlutut di depannya, beliau masih terpejam sambil berdoa, "Ya Allah lancarkanlah pekerjaan anakku, selamatkanlah dia." Saya menangis lalu memeluk beliau. "Alhamdulillah, anakku datang," serunya. Tahu apa yang terjadi pada hari terakhir latsar alias pelantikan? Saya menjadi peserta dengan nilai tertinggi di angkatan saya, menjadikan saya peserta terbaik di kelompok latsar CPNS. 


Setelah kejadian itu, saya merenung. Saya punya kedua orang tua yang selalu mendoakan, mendukung, dan bangga atas semua pencapaian saya. Bahkan ketika mahasiswa saya mendapat prestasi nasional dan internasional, Mamak dan Bapak saya turut berbangga dan bahagia. Saya punya Mamak, yang tak henti mendoakan saya meskipun kini kepikunan mulai mendatanginya. Saya punya tiket surga, saya hanya perlu menjalani peran ini sebaik-baiknya meski kesulitan kadang menghadang. Tapi, saya percaya bahwa setiap kesulitan disertai dengan kemudahan. Saya juga yakin bahwa Allah memberikan saya jalan yang pasti sanggup saya lalui. Saya meyakini bahwa kemampuan menjalankan tugas sebagai dosen dan menapaki karir yang baik hingga kini adalah karena semua doa dan harapan orang tua saya yang mencapai langit. Kini, meski berjibaku dengan dua peran yang cukup menyita emosi diri, saya berusaha menyeimbangkan keduanya. Agar orang tua saya tidak merasa ditinggalkan dan pekerjaan saya tetap dapat diselesaikan. Tidak mudah, namun begitulah kehidupan. 


Semangat untuk semua perempuan. Apa pun peranmu dan dimana pun kamu berada. 

#tantanganMaGaTa


 

Baca selengkapnya

Wednesday, February 7, 2024

Aku si Performer Lokal Era 90an

Setelah menjadi orang dewasa, banyak di antara kita yang menyadari bahwa masa kecil adalah masa paling menyenangkan dan paling dirindukan. Setelah mengalami berbagai kerumitan hidup, mengenang masa kecil mengingatkan saya betapa sederhananya hidup pada kala itu. Lucunya, justru kita ingin lekas menjadi orang dewasa supaya bebas melakukan apa pun tanpa kendali orang tua.  

Saya lahir dan besar di kota kecil di ujung utara Kalimantan Barat yang dikenal dengan Sambas. Terlahir sebagai anak terakhir dari pasangan guru bagi saya adalah privilese. Usia saya terpaut cukup jauh dengan kakak - kakak saya (10 tahun dan 6 tahun). Sejak lahir saya selalu ada dan terlibat dalam aktivitas yang kakak - kakak saya lakukan. Mereka belajar, saya ikut belajar (menganggu dan mencoret buku mereka). Mereka diajari mengaji dan seni baca Al Qur'an oleh Mamak, saya pun turut serta. Masih ada sekelebat memori saya mengingatkan Mamak surat terakhir yang beliau baca dan memori saat saya menyobek lembaran Al Qur'an ketika masih balita.  Dan satu hal yang mungkin tidak semua orang tua pada masa itu ajarkan pada anak-anaknya adalah tampil di atas panggung. Mamak mendorong kakak - kakak saya untuk tampil pada banyak pentas di kecamatan, sebagai penari tradisional, menyanyi, bahkan tampil sebagai Qori'ah. Pada banyak kesempatan, di rumah saya selalu melihat Mamak melatih kakak - kakak saya cara bernyanyi yang baik dan tampil menguasai pentas dengan baik. Kakak saya yang ketiga bahkan sampai mengikuti ajang kompetisi bernyanyi nasional karena hobi ini. Saya yang sejak lahir terbiasa dengan suasana rumah yang seperti ini, pun tumbuh menjadi anak yang senang bernyanyi. 

Pentas pertama saya adalah saat perpisahan TK, usia saya saat itu 5,5 tahun. Selain menari bersama teman-teman, saya tampil sendiri bernyanyi. Saya lupa judul lagunya, yang jelas saya sangat bangga kala itu, bisa bernyanyi dengan nada yang cukup tinggi. Saat kelas 2 SD saya dipercaya berdeklamasi saat ada kunjungan gubernur ke sekolah kami dalam rangka program 'Mak Lurah' (Makan Telur di Sekolah). Entah apa yang membuat guru saya mempercayakan anak usia 7 tahun mendeklamasikan puisi. Puisi berjudul "Guruku', yang saya tulis sendiri, saya deklamasikan di depan Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi dan seisi sekolah. Deklamasi ini tidak berjalan lancar, karena saya lupa bait puisinya di tengah-tengah. Saya sempat terhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan kata-kata karangan yang muncul begitu saja. Alhasil, sang ibu ketua PKK gemas dan langsung ke pentas merangkul dan mencium pipi saya. Pipi saya merah terkena gincunya. Ibu guru langsung menggendong saya. Orang- orang menimang saya. Tentu, saya bingung, kenapa orang-orang bereaksi seperti itu? Kalau diingat lagi, ternyata situasinya memang lucu. Saya rasa, pengalaman itu menjadi pengalaman pertama saya dalam hidup mengatasi krisis di saat genting. 

Saya semakin aktif di pentas bernyanyi dan berdeklamasi puisi sejak kelas 3 SD. Mama mengikutkan saya pada banyak pentas di kecamatan. Pentas 17-an, pentas seni di desa, bahkan kegiatan perpisahan sekolah, peringatan hari ibu, kegiatan Dharma Wanita Persatuan dan PKK. Rekam jejak kakak - kakak saya yang sebelumnya juga aktif tampil di pentas membuat orang selalu menghubungi Mamak saya jika butuh penampil dalam event mereka. Namun karena semua kakak saya merantau setelah lulus SMP, saya lah yang selalu mengisi acara -acara itu. 

Sebagian Foto saat Pentas, Lomba, dan berlatih di rumah
Foto oleh Mamak
 

Karena saya juga bersekolah di tempat yang sama dengan kakak - kakak saya, guru kami menganggap saya memiliki bakat dan prestasi seperti kakak saya. Sejak kelas 2 SD saya sudah ikut berbagai kompetisi puisi dan PORSENI. Ada satu kompetisi yang paling berkesan dalam hidup saya. Kompetisi  ini adalah Lomba Deklamasi Puisi yang diikuti siswa SD yang rata-rata sudah kelas 5 dan 6. Saya dan teman saya adalah peserta termuda dalam lomba ini, karena kami berdua masih kelas 2 SD. Ada 2 puisi yang harus dibawakan, satu puisi wajib dan satu puisi pilihan. Saya lupa dengan puisi pilihannya, tapi puisi wajib yang harus kami deklamasikan saat itu adalah Do'a karya Chairil Anwar. Alih-alih guru, saya justru diantar dan didampingi Bapak saat lomba. Saya ingat saya diantar Vespa putih Bapak, memakai gaun pendek kembang berwarna putih dan memakai bando. Saat tampil saya merasa sudah sangat bagus dan keren. Tapi saat melihat peserta lain ternyata banyak sekali orang yang lebih bagus penampilannya dibandingkan saya. Saat pengumuman pemenang, saya merasa yakin saya setidaknya bisa mendapat juara 3, namun ternyata saya tidak mendapat juara apa pun. Saya yang masih berusia 7, sangat kecewa. Bapak menepuk bahu dan membelai rambut saya sambil mengatakan, "Tidak apa-apa." Setibanya di rumah saya menghambur ke kamar, menenggelamkan muka ke bantal, dan menangis tanpa sepengetahuan Bapak. Itu dalah kekalahan pertama dalam hidup saya. Kekalahan pertama yang membuat saya sadar, "ternyata aku tidak bagus-bagus amat berpuisi. Kenapa mereka selalu memujiku?" Setelah kekalahan itu saya (sepertinya) belajar lebih baik lagi. Pelatihnya, tentu saja Mamak saya, guru bahasa Indonesia SMP. Pada saat Porseni tingkat kecamatan, saya menjadi juara pertama dalam lomba deklamasi puisi. Sejak itu, saya selalu menjadi juara pertama dalam lomba Deklamasi puisi bahkan hingga tingkat kabupaten. Hanya saja, tanpa saya sadari, kekalahan itu menjadi luka dalam yang terbawa hingga dewasa. Mungkin kelak akan saya ceritakan di tulisan lainnya.

Kembali mengenang dan menuliskan masa kecil membuat saya semakin mensyukuri keberadaan kedua orang tua dan kakak - kakak saya dalam masa tumbuh kembang saya. Mamak dengan caranya sendiri, telah menumbuhkan keberanian dan kepercayaan diri saya. Semua pengalaman masa kecil ini tidak hanya menjadikan saya pribadi yang berani namun perlahan mengajarkan saya menghadapi lika - liku kehidupan, menghadapi kegagalan, mengatasi masalah dan krisis. Ada luka yang tersisa dari pengasuhan, tapi itu pun di masa depan memberikan saya pelajaran yang berbeda.  


#tantanganMaGaTa







Baca selengkapnya

Monday, July 5, 2021

Anak Istimewa

Malam itu aku cemas. Akankah aku menerimanya? Aku bukanlah seseorang yang mudah menerima orang baru tinggal di rumah kami. Pagi tiba. Sebuah sepeda roda tiga terletak begitu saja di ruang tamu. Aku tahu, anak itu sudah datang. Aku mendekati kamar yang ada di sebelah ruang tamu. Anak itu sedang digendong kakak iparku.


"Kapan sampainya?," tanyaku. "Baru saja,"kakak iparku menjawab singkat sambil merapikan barang - barang bawaannya. Aku mendekati anak kecil di gendongannya. "Hai. Siapa namanya?,"suaraku berubah ramah sambil menggenggam tangannya. Anak itu membenamkan wajahnya ke bahu kakak iparku sambil tersenyum malu. 


Namanya Nobertus Randy. Usianya 3 tahun. Dia keponakan kakak iparku. Ibunya baru meninggal satu pekan sebelumnya karena penyakit Lupus. Ayahnya meninggal dua hari setelahnya. Ya, anak itu yatim piatu. Abang dan kakak iparku memutuskan untuk mengadopsinya. Hari itu, dia resmi menjadi keponakanku yang ke delapan. 


Randy terbilang sangat aktif. Aku menghindari menyebut kata nakal, walaupun kadang-kadang ada saja perilakunya yang membuat naik darah.  Hobinya ngoprek sampah, bikin karyawan di rumah kami marah-marah, dan sengaja mengusili kakak-kakaknya. Hal yang kita larang, itulah yang dia kerjakan. "Jangan main sampah!" teriak salah satu karyawan di rumah kami. Dia dengan senyum usilnya sengaja menumpahkan semua sampah dalam trash bag dan bermain-main dengannya. Kantong kresek jadi layang-layang lah, botol minum jadi roket, atau kertas jadi pesawat. Ketimbang nakal, aku mendeskripsikan Randy sebagai anak yang imajinatif, berpendirian teguh, menyukai tantangan, dan usil tapi sangat lembut hatinya. Ketika sesuatu membuatnya frustasi, atau saat dimarahi, tangisannya benar-benar terdengar memilukan. Dia akan sesenggukan sambil menutup wajahnya. Bahkan kadang hal yang terlihat sepele, bisa membuatnya menangis begitu sedih. 


 Sebagai muslim, aku paham bahwa ada keistimewaan bagi penyantun anak yatim piatu. Saking istimewanya, disebutkan dalam Al Qur'an dan juga hadis yang shahih (https://www.orami.co.id/magazine/keistimewaan-anak-yatim/). Aku sadar, ada peluang kebaikan dengan hadirnya Randy di rumah. Ketika menceritakan ulah dan perilaku ajaib Randy yang sering menyulut emosi, salah satu kerabat kami bilang, "Emang begitu kalau merawat anak yatim. Perilakunya pasti ada aja nakalnya. Kayak nguji kesabaran kita gitu." Aku berfikir, mungkin karena saking besarnya pahalanya, ujiannya juga setara. Tapi setiap kali mendengar Randi menangis aku jadi khawatir. Aku tidak ingin anak ini terluka dan kesepian. Karena aku tahu, luka masa kecil itu sangat mempengaruhi kehidupan dewasa kelak. Aku mulai mencari-cari materi pengasuhan untuk anak yatim piatu. Aku belajar lagi parenting dan mulai membenahi diri.


Masya Allah, dalam proses belajar itu ada banyak insight yang aku dapatkan. Banyak yang belum aku ketahui tentang pengasuhan (padahal sudah belajar lebih dari 7 tahun). Betapa banyak kesalahan pengasuhan yang aku lakukan selama ini, sampai keponakan-keponakanku sudah besar. Aku mulai membenahi diri dan mengatur emosi. Sadar bahwa meskipun aku bukan ibu mereka, aku punya peran dalam masa kecil keponakanku.


Hadirnya Randy, juga menyadarkanku betapa hebatnya sosok Mamak. Aku merasa berdosa karena sempat menyalahkan pola asuh beliau dulu. Kini aku sadar, pola pengasuhan Mamak adalah yang terbaik di masanya. Beliau tidak pernah mencubit dan memukul kami, bicara dengan nada netral dan mengkomunikasikan semua larangan dengan baik kepada kami. Mamak tidak pernah memaksa kami belajar. Masa kecil adalah masa bermain menurutnya. Beliau selalu sabar, bahkan ketika menghadapi ulah kami. Kini aku memahami semua sikap beliau dari caranya memperlakukan Randy. Beliau selalu menemani Randy bermain, meredakan tantrumnya, bahkan selalu ada ketika Randi menangis atau merasa diabaikan.


Benarlah menyantuni anak yatim piatu itu istimewa. Hadirnya Randy tidak hanya mengajarkanku makna sabar, namun membukakan mataku akan luasnya kasih sayang seorang ibu. Randy memang bukan anak kandungku, tapi dia telah menempati posisi istimewa di hatiku. Kini usianya sudah empat tahun. Semoga hari-hari ke depan, kami diberikan kekuatan untuk mendidik dan mengasihinya selalu, hingga ia tumbuh menjadi insan yang shalih dan berguna bagi sesama. Aamin.




ditulis untuk tantangan Mamah Gajah Bercerita minggu ke-1 bulan Juli 2021 #TantanganMaGaTa

Baca selengkapnya

Thursday, October 15, 2020

Sunday, October 11, 2020

Today's Good Words

Mistakes make you grow. 
Life has its up and down. 
Yes, mistakes is like the bitter side of life. 


take all the responsibility. 
take care of yourself. 

xoxo, tiech. 



Baca selengkapnya