Sunday, May 18, 2014

Jangan Tanya Saya: "Kenapa Belum Menikah?" - Cerita Lajang #1

Petang ini, saya menerima undangan pernikahan dari seorang kawan di masa kuliah S1 dulu. Alhamdulillah, tentu saya berbahagia dengan pernikahannya. Undangan pernikahan biasanya menggelitik saya untuk selalu bertanya pada diri sendiri, kapan kah giliranku? Dan undangan pernikahan kali ini membuat saya berfikir: "ya, saya ke menghadiri undangan sendirian, tanpa partner (lagi)". Pikiran semacam ini spontan muncul, dan setelahnya saya akan merasa bersalah, karena lagi - lagi mengeluh soal jodoh. 

Awan mendung dan angin yang berhembus di luar sana sungguh membuat suasana sore ini menjadi lebih melankolis dari biasanya. Saya teringat kata - kata seorang ibu yang sudah bertahun - tahun tidak bertemu dengan saya, pertanyaan pertamanya ketika melihat saya adalah:  "sudah menikah?" dan selanjutnya bertanya " kenapa belum menikah?". Sungguh, pertanyaan pertama adalah pertanyaan yang sangat sudah biasa saya terima dan biasanya akan saya jawab: "belum, doakan saja secepatnya berjodoh bu/pak". Tapi pertanyaan kedua?, "kenapa?" should i answer that?. 

Ibu saya sendiri, sangat mengkhawatirkan saya yang sudah cukup 'usia' untuk menikah, belum memiliki pacar atau teman lelaki terdekat. Ah, kawan - kawan terdekat saya pasti sudah mengetahui betapa seringnya saya menyebutkan soal pernikahan, bahkan mungkin mereka sudah bosan. Melihat kawan - kawan sebaya dan yang lebih muda yang sudah berumah tangga, memiliki anak bahkan sudah ada yang punya 3 anak, kadang membuat saya iri dan nelangsa. Lebih terasa menyedihkan bila para sesepuh keluarga bertanya soal pernikahan, mengingat saya satu - satunya cucu perempuan yang belum berumah tangga.

Sebenarnya, adalah fitrah seorang perempuan memiliki keinginan membangun rumah tangga, kebahagian memiliki anak - anak, membesarkan mereka dan menjadikan mereka bagian dari generasi terbaik ummat. Tapi, menemukan pasangan untuk ber'koalisi' mewujudkan itu semua bukanlah perkara mudah; bertemu dengan yang cocok dengan kriteria idaman, kemungkinan ketidakcocokan 'visi dan misi' atau karena takdir yang belum mempertemukan. "Makanya, jangan pilih - pilih", "jangan kebanyakan kriteria, ingat umur", adalah nasihat yang akrab di telinga saya. Jawaban saya: "bahkan untuk membeli sepatu pun saya pilih - pilih", "untuk seseorang yang seumur hidup akan saya habiskan waktu dengannya, salahkah saya memilih yang terbaik?".

Tapi, saya tidak sendiri. Banyak perempuan lajang yang lebih senior daripada saya. Dan pada kebanyakan dari mereka, saya menyadari bahwa menjadi lajang bukan berarti kita harus sibuk menebar pesona mencari pendamping. Jadilah lajang yang sibuk mempersiapkan diri, menebar manfaat dan menjadi lebih kuat dan lebih baik setiap harinya. Bagi saya, proses sendiri yang saya tidak tahu akhirnya ini sama sekali tidak membuat saya merasa kesepian. Pada saat saya menyadari bahwa saya sudah memasuki usia 'late 20s', saat itu juga saya bertekad akan fokus memperbaiki diri dalam semua aspek kehidupan saya dan menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain. Alhamdulillah, Allah memberikan saya kesempatan untuk memiliki lebih banyak waktu luang bersama orang tua juga bersama keponakan - keponakan saya di masa 'emas' pertumbuhan mereka. Anak - anak yang kehilangan waktu berkualitas dengan orang tua mereka yang sibuk.

Beberapa Aktivitas Bermain Kreatif Saya dan Anak-anak
Saya sangat beruntung diberikan kesempatan waktu berbakti kepada Mamak dan Bapak, meski hanya sekedar memijat kaki atau mengantar mereka berobat ke rumah sakit, saya merasa bahagia bisa melakukannya. Mengasuh keponakan - keponakan membuat saya belajar lebih banyak tentang parenting (karena saya bukan tipe Tante yang sabar), belajar dari beberapa senior saya yang sangat inspiratif soal mendidik anak, sibuk mencari proyek untuk bermain sambil belajar, peduli dengan buku - buku yang perlu mereka baca, belajar mengembangkan kreativitas mereka juga sibuk membuatkan mereka cemilan bergizi. Saya merasakan menjadi ibu bagi mereka yang bukan terlahir dari rahim saya, tapi hatinya saya kini sepenuhnya mencintai mereka. Waktu - waktu bersama orang tua dan anak - anak ini selain memberikan saya kesempatan memperbaiki diri dan belajar juga menyadarkan saya bahwa dalam memilih pasangan hidup bukanlah soal saya ingin seseorang tertentu atau karena saya mencintai seseorang, tapi saya butuh  lebih, saya butuh partner 'koalisi' untuk membangun kehidupan. Dan penyadaran ini membawa saya pada tahap selanjutnya tentang cinta yakni 'melepaskan' alias 'move on' dari seseorang itu. Biarkanlah Allah yang memutuskan yang terbaik untuk jadi pendamping hidup, saya hanya perlu bersabar akan cerita yang tiada pasti ini, berusaha memperbaiki diri saya secara fisik maupun spiritual dan menyibukkan diri untuk menebar manfaat bagi orang lain.

Karena saya tidak pernah tahu kapan masa lajang atau bahkan masa hidup saya berakhir, saya mulai menata kembali rencana hidup saya. All out dalam meraih ilmu dan menebar manfaat selama saya mampu dan selama menjadi lajang yang belum direpotkan dengan urusan rumah tangga. Saya percaya, Allah tengah memberikan saya waktu untuk mewujudkan cita - cita yang saya impikan tanpa melibatkan seorang pasangan hidup didalamnya. Selalu ada hikmah di setiap kondisi yang kita jalani. Dalam kesendirian dan kemandirian perempuan, Allah mengirimkan banyak kesempatan untuk kita berkarya dan membantu orang lain. Allah menyayangi kita, lebih dari seorang ibu menyayangi anaknya, dan kasih sayangNya selalu mendahului murkaNya.

Jadi, kenapa saya belum menikah? Inilah penjelasan panjangnya, yang hanya bisa saya singkat dengan senyuman. Menjadi lajang bukan berarti kesepian dan terus menerus dalam 'drama' episode 'hati ini untuk siapa?'. Berbahagialah dan sibuklah menjadi perempuan mandiri dan bermanfaat.

yang masih lajang,
Tiech

n.b : tulisan ini sepenuhnya curahan hati penulis, bukan dukungan pilihan untuk melajang :). 
terinspirasi dari : 
http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/berbahagia-menjadi-lajang.htm#.U3h099KSx1Y



Bagikan

Jangan lewatkan

Jangan Tanya Saya: "Kenapa Belum Menikah?" - Cerita Lajang #1
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

7 comments

Tulis comments
avatar
7:24 AM

sungguh tulisan yang juga merupakan gambaran hati saya mbak.

walaupun baru tahun ini saya menginjak usia kepala dua. saya juga sudah di tanya tentang pacar dan jodoh.

sungguh lucu kalau melihat perubahan budaya yang seperti ini. menata hidup yang lurus saja belum. namun, orang di sekitar selalu menanyakan hal yang seperti ini. seakan wanita itu hanya di tuntut untuk berjodoh dan memiliki anak.


bagi saya, alone doesn't mean I am lonely. ini yang saya terapkan di diri saya jika saya di tanya knp blum punya pacar.

daripada susah payah gonta - ganti pacar untuk bisa dapat jodoh yang baik. wanita itu sebaiknya berusaha mengasah kemampuan menjadi lebih baik, mandiri, dan cerdas.

terima kasih mbak atas tulisannya.

Reply
avatar
4:29 PM

:) terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Komentar mbak mengingatkan saya kembali, bahwa saya pernah menulis ini. Bahwa ada cita - cita saya yang perlu segera di realisasikan.
Terima kasih, dan sukses ya :))

Reply
avatar
4:05 PM This comment has been removed by the author.
avatar
4:53 PM

Aahh persis spt yg apa yg sdg saya alami. Benar2 tulisan yg bagus & mengena sekali :)
Boleh saya minta ijin utk share?

Reply
avatar
10:52 PM

@Siska ...ahh silahkan. Senang jika ini bermanfaat :)) terima kasih ya sudah berkunjung

Reply
avatar
7:32 PM This comment has been removed by a blog administrator.
avatar
1:11 AM

MasyaAllah, inspiratif..

Memang sungguh, Tihah, netijen suka kepo ajaib. Keponya sama, pertanyaannya beda. Klo ke yg single nanya "kenapa belum nikah"; klo ke yg udah menikah tp blm ada momongan, nanyanya "kenapa belum punya anak"..

Dah paling bener, senyumin ajedah..

Reply