Ketika sedang mengumpulkan bahan
tulisan untuk #myFabulous30 saya menemukan satu pertanyaan menarik di sebuah
laman web berbahasa Inggris. Begini bunyinya:
What does being single at 30 do to a woman's body and mind?
Kira-kira kalau diterjemahkan bebas,
pertanyaannya seperti ini: Apa yang terjadi pada pikiran dan tubuh seorang
wanita yang masih lajang di usia 30? Penasaran, saya pun membaca jawaban yang
disediakan di situ. Dan saya sangat menyukai kalimat penutup yang ditulis oleh
sang penjawab pertanyaan.
Being single doesn't affect the woman's mind or body. The woman's attitudes towards and feelings about being single might.
Ya, masih lajang pada usia ini tidak
mempengaruhi tubuh maupun pikiran seorang wanita. Sikap dan sudut pandang
wanita pada status ’30 dan masih lajang’ mungkin iya. Pertanyaan-pertanyaan yang terkait dan hampir serupa juga sangat menarik. Membuat saya tahu, bahwa wanita mana pun di dunia ini memiliki concern yang sama, tentang lajang di usia 30.
Sumber Gambar Klik di sini |
Saya
lalu mengingat-ingat, seberapa sering saya memikirkan dan mempertanyakan hal serupa. Hal-hal yang kadang pada
akhirnya membuat diri cemas, merasa nelangsa, atau gagal menjadi perempuan.
Meskipun sebenarnya tidak sendiri, saya selalu merasa seolah-olah saya adalah lajang paling nelangsa. Apalagi kalau melihat tetangga yang anak-anaknya seusia bahkan lebih muda dari saya sudah dilamar, sudah pada menikah dan punya anak. Juga saat bertemu kawan lama, dan dia langsung bertanya, "Anakmu sudah berapa?". Dalam grup online pun, lingkaran kawan-kawan seangkatan sudah sibuk dengan obrolan seputar sekolah anak, laktasi, perilaku balita, balada asisten rumah tangga, atau tentang kehamilan anak kesekian. Saya jarang menimpali. Karena sibuk membatin, "kalau menikah seperti dia, mungkin anakku sekarang sudah SD, dan seterusnya". "Jangan-jangan nanti tidak menikah," pikiran seperti ini pun kerap mencemaskan diri.
Lalu saya menyadari, bahwa semua kegelisahan ini bersumber dari pilihan yang saya buat sendiri. Pilihan untuk memandang status saya saat ini sebagai aib, kekurangan, sumber kegalauan dan kegelisahan utama dalam hidup. Menikah itu bukan lomba lari, kalau kata Tere Liye. Seorang kawan berbagi nasihat pagi ini, intinya semua orang hidup di zona waktunya masing-masing. Kalau zona waktu Jakarta GMT+7, dan Los Angeles GMT-7, apa kehidupan di Los Angeles lebih lambat dibanding Jakarta? Tidak kan. Semua orang memang sedang berlari dalam hidupnya, dalam perlombaannya sendiri. "Semua sesuai rezekinya masing-masing, Ti. Saya nikah, punya anak, dan rumah. Kamu punya waktu sekolah dan kemudahan bekerja ke daerah mana pun." Begitu kalimat seorang kawan, saat saya pernah galau dan menyatakan iri pada kehidupannya yang sudah cukup mapan.
Ah, iya juga. Ada banyak blessing in disguise dalam status ini. Saya terlalu fokus mengasihani diri. Lupa ada banyak hal yang patutnya disyukuri. Kesadaran ini pula yang membuat saya kini berani melakukan banyak hal yang tak biasa. Mencoba memperluas zona nyaman, melakukan hal-hal yang menantang, terlibat dalam berbagai kelas, training, panitia acara dan kepanitiaan disaat kebanyakan wanita seusia saya sibuk membicarakan dunia rumah tangga dan dunia anak-anak. Obrolan-obrolan bersama mama-mama muda ini masih saya simak. Saya anggap sebagai pelajaran pra-nikah.
Ah
ternyata, ada banyak hal yang bisa saya lakukan selain fokus pada perasaan dan
kegalauan melajang. Terlalu fokus pada status, bukan usaha mempersiapkan
kehidupan selanjutnya. Kini saya memilih untuk sibuk bertindak, sebagai
wujud syukur pada satu per satu hal yang bisa nikmati selama masa lajang ini. Kalau kamu, memilih apa? :))
Appreciate the good things you already have in your life — especially the freedom. Ask yourself what joys you’re putting off by waiting until marriage. (Michelle Cove in Seeking Happily Ever After: Navigating the Ups and Downs of Being Single Without Losing Your Mind (and Finding Lasting Love Along the Way).
#myFabulous30
#FabulousMind
#Day8
#Squad8
#30DWCJilid7
Bagikan
Memilih Sikap dan Perasaan
4/
5
Oleh
Tiech