Friday, August 4, 2017

Aku dan Menulis


Tantangan menulis 30 hari sudah masuk hari terakhir. Aku merasa kali ini tulisanku berbeda. Hampir sedikit sekali aku menulis fiksi. Memang aku punya target sendiri kali ini. Memulai sebuah tulisan tentang #myFabulous30, namun dalam perjalanannya lebih banyak cerita dan refleksi kehidupanku sehari-hari. Pada 30DWCJilid7 kali ini, walaupun masih sering mengirimkan tulisan mendekati deadline, namun aku tak kesulitan mendapatkan ide. Bahkan seringkali banyak hal yang ingin kusampaikan. Kalau diperhatikan, tulisanku dalam 30 hari terakhir lumayan panjang. Bukan karena aku punya waktu lebih banyak dari biasa. Namun, ada banyak hal di kepala yang segera ingin dialirkan dalam kata-kata. Aku bisa mengetik lebih cepat. Seperti saat ini.

Lalu aku berfikir, mungkinkah karena kini aku tidak berada dalam kondisi tertekan seperti saat masih bekerja dulu. Padahal kesibukan tetap saja sama. Bahkan kini aku selalu dalam kondisi stand by. Kalau-kalau diperlukan di dapur, kalau-kalau dipanggil keponakan, kalau-kalau Bapak membutuhkan bantuan. Sibuk dan banyak peran. Tapi dari kesibukan itulah aku belajar banyak hal. Dan sering merasa butuh tempat bercerita. Blog adalah tempat terbaik. Apalagi kalau ada yang membaca dan bisa mengambil manfaat darinya. 

Menurut STIFIn, seorang insting mencari harmoni. Dan cenderung akan lebih optimal berada dalam kondisi yang minim konflik dan tekanan. Well, selama masih belum memulai masa proyek, aku menikmati masa-masaku di rumah ini. Dan melihat catatan kisahku selama 30 hari ini rasanya menyenangkan. Insya Allah konsisten menulis hingga hari-hari ke depan. 

Salam, On Fire!

Aku menulis, karena terlalu banyak yang ingin aku ceritakan pada dunia tentang apa yang aku lihat, dengar, dan rasa. -Nur Astri Fatihah

#Day30
#30DWCJilid7
#Squad8
Baca selengkapnya

Renungan dari Api

Saat sedang memasak di dapur tungku, ada banyak hal yang tiba-tiba muncul di pikiran saya. Tiba-tiba merasa, "Duh, ini sungguh tidak ramah lingkungan. Sayang kayu. Tapi gas juga sama saja. Apalagi listrik. Ini pilihan paling hemat. Kayu bakar gratis." Di saat seperti ini pelajaran tentang emisi gas rumah kaca dan lain-lain dikesampingkan. Kalah dengan upaya penghematan dalam urusan keuangan keluarga. 

Saya yang memang hanya sekali dua kali pulang, tidak terlalu akrab dengan memasak menggunakan kayu bakar. Boleh dikata tidak pandai dan tidak paham cara menghidupkan dan menjaga nyala api. Namun kini, demi menghemat, saya cukup sering menggunakan kayu bakar untuk memasak. Apalagi jika memasak makanan berempah khas melayu atau makanan yang perlu waktu lama untuk diolah. Awalnya memang sulit dan menyebalkan. Tapi lama-lama jadi terbiasa.
Suatu kali saat sedang mengatur kayu bakar agar api tetap menyala, saya sadar kayu-kayu ini begitu cepat dimakan api. Sudah lima bilah kayu habis, tapi saya masih belum selesai. Padahal saya cuma sedang membuat tempe bacem. Tapi tempenya sekilo, jadi butuh waktu lama. Padahal saya juga ingin menghemat kayu. Sayang kalau habis demi tempe yang begitu tersaji di meja makan, ludes dalam waktu beberapa menit saja. 

Di saat nyala api kian marak, terdengar bunyi hentakan. Bapak sedang mengayun kapak, membelah kayu-kayu besar di halaman belakang. Untuk kayu memasak, begitu beliau berkata. Makin pedihlah hati saya, untuk mengambil bilah kayu yang berikutnya. Bagaimana tidak? Bapak berjalan dengan tongkatnya, bertumpu pada satu kaki, tapi masih punya semangat dan tenaga membelah kayu. Hampir seharian pula. Segera saya mengumpulkan tempurung, sabut kelapa, dan ranting-ranting kering. Tidak tega saya menghabiskan kayu bakar ini.

Saya lalu merenungkan. Betapa makanan yang tersaji di meja adalah hasil keringat banyak orang. Ia tidak hadir dan turun begitu saja. Ada banyak perjuangan menyertainya. Saya yang menyiapkan dan menghaluskan bumbu, lalu memasaknya. Bapak menyiapkan kayu bakar. Ada pula orang-orang yang menanam semua bumbu dan bahan makanan. Semua bahan itu akhirnya bisa dibeli dari hasil bekerja kedua orang tua saya. Semua hadir dari usaha dan butuh waktu tidak sebentar. Namun perkara memakannya, tidak lebih dari lima belas menit, makanan ini bisa ludes begitu saja.

Kadang saya kesal. Sudah lama memasak. Menghabisinya sebentar saja. Bahkan kadang, saya sendiri tidak sempat makan makanan buatan sendiri. Keburu habis. Risiko, punya ramai anggota keluarga. Namun kekesalan dan kelelahan itu seringnya terbayar. Jika semua orang senang dan menikmati masakan saya. Saat seperti ini saya tak henti mengagumi ibu saya. Untungnya waktu kecil saya bukanlah picky eater.
 
Nyala api tungku yang semakin besar, membuat saya sadar. Ada banyak hal kecil yang saya abaikan. Hal-hal yang biasa hadir, namun bila disyukuri, menyimpan banyak pelajaran bagi kehidupan. Saya bersyukur hari ini belajar sesuatu lagi.

Bagaimana dengan Anda, sudahkah mensyukuri nikmat hari ini?

Tungku di Rumah
#Day28
#30DWCJilid7
#Squad8
#myFabulous30
Baca selengkapnya

Thursday, August 3, 2017

Sajak Luka

bagaimana lagi caranya
agar aku bisa membawamu
pada jalan menuju surga?

cinta yang kini bercampur luka
mengalirkan amarah dan benci antara kita
tak cukupkah kata-kata
penawar duka dariku dahulu kala

tak bisakah kau ingat
musim dimana badai datang
dan kita terjebak dalam pusaran
sementara masih belum tampak
akhir dari semuanya

mengapa kini kalimatku membakar hatimu?
menjadi duri yang menyakitkanmu?

tak adakah lagi
embun yang menyejukkan dadamu?
tak adakah lagi
air hujan yang bertabur di dasar jiwamu?
tak adakah lagi
kristal yang mengkilat dari matamu?

bisakah kita menyudahi ini?
amarah yang melukai?

oh, mengapa terasa sakit di kepala?
amarahmu berganti duri
yang terus menusuk seluruh diri
pelan-pelan ku mengusap pelupuk mata
mengganti mendung yang bergelayut di muka
menjadi senyum mencerahkan suasana

biarlah.
biarlah aku mengalah.

biarlah kini kupilinkan pada langit
untuk menurunkan sekeping salju
pada hatimu yang menyimpan bara api

untuk meneduhkan hatiku
yang terasa bagai disinari terik mentari
biarlah kau dan aku menyepi
sibuk dalam perjalanan
menuju rute kedamaian


#Day29
#30DWCJilid7
#Squad8



Baca selengkapnya

Tuesday, August 1, 2017

Nanti

Nanti


Ada banyak hal yang tertunda dalam hidup saya, karena satu kata: nanti. Nanti deh. Bentar lah. Sehabis ini lah. Sampai kadang tertunda bertahun-tahun lamanya. Salah satunya menempuh pendidikan magister yang tertunda hingga empat tahun dari rencana semula. Ada pula hal-hal yang tak sempat saya lakukan. Karena saya melewatkan momen dan kesempatan yang tersedia. Akibat kata nanti. 

Hal ini pula yang menjadikan saya seringkali mengerjakan segala sesuatu mepet ke deadline. Selain memang karena ada hal lain yang perlu diprioritaskan, tidak jarang pula terjadi karena saya menunda. "Nanti deh, kalau sudah mood. Nanti deh makan dulu. Nanti, agak sore." Akhirnya kadang saya tidak punya waktu banyak untuk merapikan pekerjaan atau memeriksanya kembali. 

Hari ini saya sadar penyakit nanti mulai datang kembali. Ada beberapa pekerjaan yang saya lupakan, gara-gara pada saat kewajiban itu datang, saya katakan: iya, nanti. Ada pula beberapa hal yang langsung saya respon. Seperti kesempatan-kesempatan terkait dengan proyek baru, kelas kepenulisan baru, dan berbagi event upgrading diri. Saya kemudian merenungi perbedaan respon saya ini. Apa yang membuat saya menjadi penunda di satu hal, namun responsif alias cepat tanggap di hal lainnya? 

Saya pun sadar bahwa setiap kali sedang dalam responsive mode, pada dasarnya saya aware akan waktu. Semakin bertambah usia, saya semakin merasa bahwa waktu yang saya punya semakin sempit. "Aku ga punya nanti. Now or regret it!" Itu yang terus saya ucapkan pada diri sendiri. Sehingga, sekalipun ada risikonya, berat atau bahkan tampak tidak mungkin, akan tetap saya lakukan. Karena saya merasa tak ada yang tak mungkin selama saya punya strong why. 

Sekarang saya tinggal menerapkannya di seluruh aspek kehidupan saya. Bahwa waktu saya terbatas. Bahkan saya tidak bisa menjamin umur saya ada sampai detik berikutnya. So, kenapa saya harus sering mengatakan nanti? Karena saya belum tentu punyai nanti itu. 

Kalau Anda, bagaimana? 

#Day27
#30DWCJilid7
#Squad8
Baca selengkapnya