“Kapan anak paling bontotku ini pulang?” kata Mamak sambil
membelaiku yang sedang tiduran sambil membaca buku. Pertanyaan Mamak padaku
sebulan lalu saat aku pulang kampung masih terngiang sampai hari ini. Dan malam
ini, setelah membaca Ibuk, setiap membaca kalimat – kalimat Ibuk pada Bayek,
aku seperti mendengar kalimat – kalimat dari Ibuku sendiri: ‘Mamak’. Meski tak
sama persis. “Kalau ada uang menabunglah nak”. “Sudah saatnya kamu menikah nak”.
Sudah saatnya kamu menata hidupmu nak”. “Sudahlah kerja disini saja, kamu
perempuan sendirian disana buat Mamak selalu khawatir”. “Apapun pilihan
hidupmu, Mamak selalu mendoakan yang terbaik dan mendukungmu”. Setiap kali ada
kesempatan, semua kata – kata itu yang kudengar dari Mamak.
Setelah setahun lalu ‘9 summers 10 autumns’, kali ini ‘Ibuk’ dari Iwan Setyawan sekali lagi membuat saya berjalan kembali ke masa lalu
menyusuri kisah Mamak, Bapak, dan Kakak saya. Dengan airmata yang tak berhenti
mengalir saya membuka notebook dan
menuliskan perasaan saya. Selalu, ketika menuliskan tentang Mamak dan Bapak,
mata ini tidak pernah kering. Saya yakin, saat menulis Ibuk, mas Iwan juga
merasakan hal yang sama.
Membaca Ibuk membuat saya paham, bahwa saya sedang menjalani
proses kehidupan. Saat saya mengahdapi stress dan tekanan sangat berat di
kantor saya sangat ingin resign dari situ, tapi saya bertahan mengingat misi
saya belum selesai. Saya bertahan dan mengatakan ini pada diri saya: saya tidak
akan kalah, saya tidak akan keluar hanya karena saya tidak sanggup. Saya hanya
akan pergi saat saya merasa saya perlu belajar hal baru. Saya sangat terkejut dan berulang kali
menganggukkan kepala sambil mengatakan yes, that’s right saat saya membaca
halaman 186 ‘Ibuk’. Juga ketika membaca tulisan cetak miring di halaman 204 ‘Ibuk’.
Saya semakin mencintai Mamak, Bapak dan semua keluarga saya sejak saya mulai
merantau. Saya juga selalu menghargai setiap detik waktu yang saya habiskan
bersama mereka. Karena saya sadar, banyak momen penting bersama mereka yang
telah saya lewatkan.
Saya bungsu, manja, penakut juga tidak pernah jauh dari
orang tua. Tapi kini saya merantau, jauh dari mereka. Saya menikmati kehidupan
dan tantangan yang ada disini, di Bandung. Sama seperti Bayek, saya selalu
merindukan kota kecil tempat kelahiran saya, Sambas, sebuah kota di utara
Provinsi Kalimantan Barat yang sudah saya tinggalkan selama 8 tahun. Tapi saya
merasa belum saatnya pulang, saya masih punya misi yang belum terselesaikan.
Perjalanan hidup saya memang belum sepanjang Bayek. Tapi
ceritanya dalam Ibuk, menguatkan langkah saya kembali untuk menyelesaikan misi
saya. Saya tidak akan menyiakan doa, airmata dan kasih sayang Mamak dan Bapak yang
telah membesarkan saya. Cerita hidup saya memang tidak sama dengan Bayek, tapi
apa yang Bayek alami dan yang ia rasakan dulu, saya rasakan saat ini. Saya
ingin pulang suatu hari nanti, menyelesaikan misi disini dan memulai misi yang
baru di Sambas, juga....menulis.
Ibuk memang Ibuk Bayek dan keempat saudara perempuannya,
tapi buat saya beliau juga Ibuk saya, Ibuk semua orang yang membaca ini. Beliau
telah mewariskan nilai – nilai hidup yang menginspirasi dan menguatkan banyak
orang. Beliau telah memberikan cinta kasih dan sayang yang hangat, yang tidak
hanya dirasakan anak- anak dan cucu-cucunya, namun juga kami yang membacanya
dari tulisan Mas Iwan.
Saya cinta Ibuk juga Mamak saya.
"A mother knows what her child's gone through, even if she didn't see it herself " (Pramoedya Ananta Toer)
Thanks Mas Iwan Setyawan atas dua bukunya. Buku ini buat saya
adalah buku kehidupan yang ditulis dengan hati. Saya akan selalu menunggu karya
lainnya.
Tulisan ini sejatinya bukan review atau resensi buku. Tapi lebih pada cerita melankolis tentang perasaan saya setelah membacanya. Dan maaf, sepertinya tulisan ini tidak terstruktur dengan
baik. Saya sedang belajar menulis. Tapi kali ini perasaan saya mengalahkan
ketakutan kesalahan dalam menulis juga mengalahkan kesanggupan untuk mengecek struktur kalimat hehe :). Harap maklum.
Salam hangat, tiech.
Bagikan
"Ibuk"
4/
5
Oleh
Tiech